Makalah Hukum Kesehatan : Kebebasan dan Tanggung Jawab

BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Manusia ialah makhluk ciptaan Tuhan sebagaimana juga makhluk-makhluk yg lain di muka bumi ini, dan setiap makhluk yg dijadikan itu mempunyai ciri-ciri tertentu yg membedakannya dengan makhluk lain. Manusia ialah makhluk yg mempunyai polah, ulah, dan tingkah laku, tidak sedikit sekali asa dan dorongan nafsunya (dorongan untuk berkuasa, untuk lebih dari orang-orang lain, dorongan seks, dorongan untuk populer alias termasyhur, cemburu, dengki, rakus, dan tamak), jadi pada insan butuh ada pengaturan hukum, tata tertib, budaya istiadat, agama, pendidikan, norma, dan nilai. Pada segi lain insan ialah makhluk yg menarik hebat, bisa berkata-kata, berbahasa, bisa menciptakan sesuatu, bisa bersopan santun, bisa memanfaatkan dan mengendalikan alam, bisa berlaku jujur, bisa menyayangi dan berkorban.
            Manusia leluasa merdeka dalam memanfaatkan hidayah limpahan performa kehendak dan kekuasaannya; insan leluasa berkehendak (free will) dan leluasa bertindak melaksanakan kemampuan, kekuasaanya (free act) melainkan selaku makhluk ciptaanNya semacam juga alam semesta dan isinya rutin tunduk pada hukum-hukum kehidupan ciptaan Tuhan baik dengan cara sukarela alias terpaksa. Berkaitan dengan faktor tersebut jadi makalah ini akan mengulas mengenai keleluasaan dan tanggung jawab insan ditinjau dari beberapa aspek.
B.     RUMUSAN MASLAH
Dari uraian bisa disimpulkam bahwa terdapat beberapa rumusan masalah, sebagai berikut:
1.      Manusia sebagai maklhuk ciptaan Tuhan.
2.      Manusia mempunyai pola pikir dan tingkah laku.
C.     TUJUAN PENULISAN
1.      Untuk mengenal Kebebasan dan Tanggungjawa insan sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
2.      Untuk mengenal Kebebasan dan Tanggungjawab insan yg mempunyai pola pikir dan tingkah laku.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    KEBEBASAN
Di antara persoalan yg menjadi bahan perdebatan sengit dari semenjak dahulu hingga kini ialah persoalan keleluasaan alias kemerdekaan menyalurkan kehendak dan kemauan. Yakni ialah kehendak kita merdeka dalam memilih tindakan yg kita buat? Adakah orang-orang itu bisa memilih di antara berbuat alias tidak, dan dapatkah ia membentuk perbuatannya menurut kemauannya? Adakah kita merdeka dalam mengikuti apa yg diperintahkan etika, alias kita bisa mengikuti dan bisa menolak?
Dalam filsafat, arti keleluasaan ialah performa insan untuk menentukan dirinya sendiri. Kebebasan lebih bermakna positif, dan ia ada sebagai konsekuensi dari adanya potensi insan untuk bisa berpikir dan berkehendak. Sudah menjadi kodrat insan untuk menjadi makhluk yg mempunyai kebebasan, leluasa untuk berpikir, berkehendak, dan berbuat.
Aritoteles sendiri berkata bahwa insan ialah makhluk yg berakal budi (homo rationale) yg mempunyai tiga jiwa (anima), yakni:
1.       Anima avegatitiva alias disebut roh vegetatif. Anima ini juga dimiliki tumbuh-tumbuhan, dengan manfaat untuk makan, tumbuh dan berkembang biak;
2.      Anima sensitiva, yakni jiwa untuk merasa, jadi insan punya naluri, nafsu, sanggup mengamati, bergerak, dan bertindak;
3.      Anima intelektiva, yakni jiwa intelek. Jiwa ini tidak ada pada binatang dan tumbuh-tumbuhan. Anima intelektiva memungkinkan insan untuk berpikir, berkehendak, dan punya kesadaran.
Sungguh leluasa sang-gup menawarkan sebuah arah masih terhadap hidupnya. la berbuat baik, bukan karena faktor itu dinantikan daripadanya (di mata orang-orang lain), bukan karena dengan itu ia bisa mengelakkan tidak sedikit kesusahah (teguran, denda, hukuman), bukan karena faktor itu diperintahkan oleh sebuah instansi dari luar. la berbuat baik karena sebuah keterlibatan dari dalam. Tidak mungkin ia akan berbuat jahat. Tapi ketidak-mungkinan ini tidak boleh ditafsirkan sebagai paksaan alias sebagai tanda ia tidak bebas. Sebaliknya, ia tidak bisa ber­buat jahat, karena ia mencapai sebuah keterlibatan dan kesempurnaan dengan penuh kesadaran.
B.     KEBEBASAN dan TANGGUNGJAWAB
a. Manusia dalam bertindak, yaitu:
Melakukan sesuatu dengan sengaja, dengan maksud dan tujuan tertentu. Kemampuan ini khusus manusiawi. Hewan bisa berbuat tetapi didorong dan berdasar naluri, perangsang, kebiasaan. (seperti pada percobaan Pavlov). Kebebasan mengandung performa khusus manusiawi untuk bertindak, yaitu dengan menentukan sendiri apa yg mau dibangun berhadapan dengan beberapa macam unsure. Manusia leluasa berarti insan bisa menentukan sendiri tindakannya.
Manusia dalam bertindak dipengaruhi oleh lingkungan luar, tetapi juga bisa mengambil sikap dan menentukan dirinya sendiri. Manusia tidak begitu saja dicetak oleh dunia luar dan dorongan-dorongannya di dalam, melainkan ia membikin dirinya sendiri berhadapan dengan unsur-unsur tersebut. Dengan demikian keleluasaan nyatanya ialah tanda dan ungkapan martabat manusia, sebagai satu-satunya makhluk yg selain ditentukan dan digerakkan, melainkan yg bisa menentukan dunianya dan dirinya sendiri. Apa saja yg dilakukan tidak atas kesadaran dan keputusannya sendiri, dianggap sebagai faktor yg tidak wajar.
b. Kebebasan dengan Kewajiban Moral Masalah:
Apakah kewajiban moral menghapus keleluasaan moral. Analisa kesadaran moral menunjukan bahwa dalam kesadaran moral yg berkembang penuh, orang-orang melakukan kewajibannya karena ia sendiri setuju. Walaupun melakukan kewajiban bisa mengangkat pengorbanan, tetapi seusai itu ia justru merasa “bebas”.
Mentaati kewajiban moral dengan cara otonom, sedikitpun tidak merendahkan manusia. Bahkan sebaliknya; apabila telah berhadapan dengan kewajiban moral insan bisa menghayati keleluasaan dengan sepenuhnya. (Drijarkara, 1966: Menyebutnya sebagai ikatan yg membebaskan). Kita terbelit untuk melakukan kewajiban, tetapi justru kalau kita kerjakan, kita akan merasa ringan, “tidak mempunyai beban”.


c.    Kebebasan yg Bertanggung Jawab
Kebebasan ditantang kalau berhadapan dengan kewajiban moral. Sikap moral yg dewasa ialah sikap bertanggung jawab. Tak mungkin ada tanggung jawab tanpa ada kebebasan.
Jadi keleluasaan mengandung pengertian:
1)    Kemampuan untuk menentukan dirinya sendiri
2)    Kemampuan untuk bertanggung jawab
3)    Kedewasaan manusia
4)    Keseluruhan kondisi yg memungkinkan insan untuk melaksanakan tujuan hidupnya.
Tingkah laku yg didasarkan pada sikap, sistem kualitas dan pola pikir berarti tingkah laku berdasarkan kesadaran, berarti bukan instinktif, terdapat makna keleluasaan insan yg ialah objek material Etika.
C.     ALIRAN TENTANG KEBEBASAN
a. Indeterminisme
Kebebasan ialah dasar utama manusia, dasar bagi tindakan manusia.
b. Determinisme
Mengingkari semua kebebasan, jadi semua tindakan insan ditentukan bermacam-macam factor.
c. Manusia sebagai titik sentral
Menghubungkan determinisme dengan keleluasaan moral dan menekankan arti partisipasi insan di dalam alam ini. Oleh karena insan melakukan pilihan-pilihan antara beberapa kemungkinan, ia kadang-kadang menjadi faktor penyebab yg aktif alias menjadi hasil yg pasif.

D. KITA MENGAKUI KEBEBASAN SEBAGAI KENYATAAN HIDUP MANUSIA
a. Semua insan mempunyai kesadaran akan keleluasaan dan yakin bahwa mereka bisa memilih diantara beberapa kemungkinan.
b. Perkembangan rasa tanggung jawab tidak akan mempunyai arti, kalau insan tidak mempunyai keleluasaan untuk melakukan pilihan-pilihan.
c. Penilaian moral mengenai tindakan dan watak seseorang menghendaki insan wajib mempunyai kebebasan. Seluruh sistem kebanggaan dan hukuman menghendaki sebagai syaratnya keleluasaan dan tanggung jawab.
d. Berpikir menunjukkan bahwa insan dihadapkan terhadap opsi antara beberapa kemungkinan.
E. TINGKAH LAKU DAN KEMAUAN BEBAS
1. Tujuan akhir insan terdapat dalam kebahagiaan sempurna, dikarenakan mempunyai Tuhan. Tidak bisa tercapai dalam nasib di dunia, melainkan dalam kehidupan di akhirat. Hidup ini hanya ialah perantara sebuah jalan untuk mencapai tujuan akhir. Kehidupan insan terdiri dari rangkaian perbuatan, yg ada di bawah pengamatan manusia, hingga ia nasib layak sebagaimana selayaknya derajat manusia. Perbuatan ini dinamakan Tingkah laku. Tujuan nasib ialah bertingkah laku sedemikian rupa, hingga kita bisa mencapai kebahagiaan sempurna.
2. Pencapaian tujuan akhir wajib tergantung pada tingkah laku insan dalam hidupnya.
3. Tingkah laku terdiri dari perbuatan-perbuatan kemanusiaan. Perbuatan tersebut dikuasai insan oleh pengamatan yg sadar dan kemauan bebas, dan oleh karena itu insan bertanggung jawab terhadap perbuatannya. Perbuatan kemanusiaan ialah hasil sekumpulan proses kejiwaan.
a) Tertarik pada tujuan
b) Usaha untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.
c) Pembahasan cara-cara pencapaian tujuan
d) Pelaksanaan
e) Rasa bahagia karena tujuan tercapai alias sebaliknya
4. Perbuatan Kemanusiaan Bersifat Tiga Anasir
a) Pengetahuan yg menawarkan tujuan dan jalan-jalannya, menawarkan pertimbangan, menjaga perhatian dan kesadaran yg dibutuhkan untuk menentukan kemauan. Pengetahuan adalah: syarat bagi tindakan kemauan yg sebenarnya.
b) Kerelaan kemauan yg menuntut bahwa pelaksana mengenal apa yg dikerjakan, dan menuntut pula bahwa pelaksana mau mengerjakan.
c) Kebebasan, insan bisa memilih yg wajib diperbuatnya.
5. Kemauan Bebas
a. Suatu tindakan bisa mengakibatkan baik dan buruk.
b. Kerelaan: positif, kalau seseorang mau mengerjakan sesuatu, negatif, kalau mau meninggalkan sesuatu. Tidak ada kerelaan, kalau seseorang tidak menghendaki apapun juga. Yang tidak mungkin, kalau kita telah memikirkan pelaksanaan perbuatan, dan terlebih telah membicarakannya. Dengan demikian pasti akan ada kerelaan, baik kalau tindakan itu kita laksanakan, maupun kalau tidak dilaksanakan.
c. Bagaimana supaya tindakan bisa disebut Bebas.
1) Maksud ialah aktual, apabila ada kemauan dengan sadar disaat pelaksanaan perbuatan.
2) Maksud ialah virtual, apabila kemauan sendiri tidak ada lagi, melainkan pelaksanaan tindakan dipengaruhi oleh kemauan tadi.
3) Maksud ialah habitual, apabila kemauan tidak ada lagi, tidak disangkal, tetapi tidak mensugesti lagi pelaksanaan perbuatan.
4) Maksud interpretatif, ialah maksud yg sebetulnya tidak sempat ada, tetapi orang-orang menganggap bahwa orang-orang yg bersangkutan akan melaksanakan kemauan, kalau ia telah memikirkan seluruh keadaan.
Catatan:
Untuk keleluasaan tindakan maksud virtual telah mencukupi syarat. Untuk menjalankan beberapa kewajiban, maksud habitual saja telah mencukupi.
d.    Dibedakan antara cara-cara menghendaki tindakan sendiri dan cara-cara menghendaki akibatnya. Ada dampak yg terbukti dikehendaki sebagai tujuan perbuatan, ada dampak yg terpaksa dihadapi dan tidak dimaksudkan. Hal ini berlangsung dengan cara bersama-sama. Jika orang-orang berusaha untuk menjauhkannya jadi orang-orang tidak akan bisa hidup.  Sebab itu orang-orang tidak selamanya wajib mencegah kejahatan alias keburukan. Dalam keadaan-keadaan tertentu orang-orang diperbolehkan melaksanakan perbuatan, yg selain menyebabkan dampak baik, tetapi juga yg buruk.
“Asas Akibat Rangkap” yg diizinkan:
1)    Perbuatan itu sendiri tidak boleh bersifat jahat.
2)    Akibat baik tidak boleh didapatkan dari karena jahat, karena kalau begitu yg jahat dikehendaki dengan cara langsung, yaitu sebagai jalan ke dampak baik. Tujuan yg baik tidak membenarkan cara-cara yg jahat.
3)    Akibat buruk/jahat, bukan maksud/tujuan yg pokok.
4)    Alasan kuat, dampak baiknya lebih “kuat” dibandingkan dampak buruk, tidak ada tutorial lain yg lebih tepat.
e.    Beberapa Pengaruh yg Dapat Mengubah Kebebasan
1)    Ketidaktahuan, terhadap apa-apa yg seharusnya diketahui. Dapat pula terjadi bahwa ketidaktahuan itu dengan cara utama tidak bisa diatasi alias paling tidak dengan cara praktis tidak bisa diatasi. Dalam kondisi ini tidak mungkin ada kebebasan. Apabila ketidaktahuan itu bisa diatasi, jadi orang-orang bertanggung jawab terhadap ketidaktahuannya. Sangat jahat, kalau seseorang dengan sengaja ingin masih dalam ketidaktahuannya.
2)    Tidak adanya pengendalian hawa nafsu, emosi kuat dari daya keinginan. Hawa nafsu bisa timbul sebelum kemauan kita mempengaruhinya. Dengan demikian hawa nafsu mengurangi keleluasaan perbuatan, tetapi jarang meniadakan keleluasaan sama sekali. Jika nafsu diakibatkan dengan sengaja, jadi orang-orang bertanggung jawab atas faktor tersebut dan juga segala akibatnya, lebih-lebih terhadap faktor yg sebelumnya telah diketahuinya.
3)    Ketakutan, kegelisahan jiwa yg dikarenakan orang-orang menonton bahaya yg bakal datang. Kalau sebuah tindakan didorong oleh ketakutan, kebebasannya terkurangi.
4)    Kekerasan, ialah kekuatan dari luar, yg memaksa kita mengerjakan sesuatu yg tidak kita kehendaki. Kalau kekerasan tidak bisa dielakkan, keleluasaan dilenyapkan, selagi hati tidak menyetujui tindakan itu.
5)    Kebiasaan yg diartikan tutorial masih pelaksanaan perbuatan. Kebiasaan itu diadakan oleh pengulangan tindakan yg serupa. Pertanggung jawaban atas tindakan yg dilahirkan oleh kebiasaan tergantung pada keleluasaan kebiasaan dan pada perhatian dan perjuangan untuk meninggalkannya.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut di kalangan para pakar teologi terbagi terhadap dua kelompok. Pertama kelompok yg menganggap bahwa insan merniliki kehendak leluasa dan merdeka untuk melakukan perbuatannya menurut kemauannya sendiri. la makan,minum,belajar,berjalan dan seterusnya ialah atas kemau­an sendiri. Kedua kelompok yg menganggap bahwa insan tidak mempunyai keleluasaan untuk melaksanakan perbuatannya. Mereka dibatasi dan ditentukan oleh Tuhan. Jika insan makan, minum, berjalan, bekerja dan seterusnya, pada hakikatnya meng­ikuti kehendak Tuhan. Dalam pandangan golongan yg kedua ini insan tidak ubahnya semacam wayang yg mengikuti sepenuhnya kemauan dalang.
Di zaman baru ini perdebatan persoalan keleluasaan dan keter­paksaan tersebut timbul kembali. Sebagian pakar filsafat semacam Spinoza, Hucs dan Malebrache menganggap bahwa insan mela­kukan sesuatu karena terpaksa. Sementara sebagian pakar filsafat lainnya menganggap bahwa insan mempunyai keleluasaan untuk menetapkan perbuatannya. Manakah di antara dua pendapat yg paling benar bukan hak kita untuk menilainya, karena ma­sing-masing mempunyai argumentasi yg sama-sama kuat dan meyakinkan. Kecenderungan masing-masing pembacalah yg mana di antara dua ajaran itu yg lebih diterima nalar pikirannya.
Dalam kaitan dengan keperluan kajian akhlak, tampaknya pendapat yg berkata bahwa insan mempunyai keleluasaan melakukan perbuatannyalah yg akan diikuti di sini. Sementara golongan yg berkata bahwa insan tidak mempunyai keleluasaan juga akan diikuti di sini dengan menempatkannya dengan cara proporsional. Yakni dalam faktor bagaimanakah insan itu bebas, dan dalam faktor bagaimana pula insan itu terbatas. Dengan tutorial demikian kita mencoba berbuat adil terhadap kedua kelompok yg tidak sama pendapat itu.
Kebebasan sebagaimana dikemukakan Ahmad Charris Zubair ialah terjadi apabila kemungkinan-kemungkinan untuk bertindak tidak dibatasi oleh sebuah paksaan dari alias keterikatan terhadap orang-orang lain. Paham ini disebut leluasa negatif, karena hanya dikatakan leluasa dari apa, tetapi tidak ditentukan leluasa untuk apa. Seseorang disebut leluasa apabila:
(1) Dapat menentukan sendiri tujuan-tuju­annya dan apa yg dilakukannya,
(2) Dapat memilih antara kemungkinan-kemungkinan yg terdapat baginya, dan
(3) Tidak dipaksa alias terbelit untuk membikin sesuatu yg tidak akan dipi­lihnya sendiri ataupun dicegah dari berbuat apa yg dipilihnya sendiri, oleh kehendak orang-orang lain, negara alias kekuasaan apa pun.
Selain itu keleluasaan juga meliputi segala macam kegiatan manusia, yaitu kegiatan yg disadari, disengaja dan dilakukan demi sebuah tujuan yg selanjutnya disebut tindakan. Namun ber­samaan dengan itu insan juga mempunyai keterbatasan alias dipaksa mendapatkan apa adanya. Misalnya keterbatasan dalam me­nentukan tipe kelaminnya, keterbatasan kesukuan kita, keterbatas­an asal keturunan kita, bentuk tubuh kita, dan sebagainya. Namun keterbatasan yg demikian itu sifatnya fisik, dan tidak membatasi keleluasaan yg sifatnya rohaniah. Dengan demikian keterbatasan tersebut tidak mengurangi keleluasaan kita.
Dilihat dari segi sifatnya, keleluasaan itu bisa dibagi tiga. Pertama keleluasaan jasmaniah, yaitu keleluasaan dalam menggerak­kan dan mempergunakan anak buah badan yg kita miliki. Dan apabila dijumpai adanya batas-batas jangkauan yg bisa di perbuat oleh anak buah badan kita, faktor itu tidak mengurangi kebebasan, melainkan menentukan sifat dari keleluasaan itu. Manusia umpama berjenis kelamin dan berkumis, tetapi tidak bisa terbang, semua itu tidak disebut melanggar keleluasaan jasmaniah kita, karena performa terbang berada di luar kapasitas kodrati yg dimiliki manusia. Yang bisa dikatakan melanggar keleluasaan jasmaniah hanyalah paksaan, yaitu pembatasan oleh seorang alias lembaga masyarakat berdasarkan kekuatan jasmaniah yg ada padanya.
Kedua, keleluasaan kehendak (rohaniah), yaitu keleluasaan un­tuk menghendaki sesuatu. Jangkauan keleluasaan kehendak ialah sejauh jangkauan kemungkinan untuk berpikir, karena insan bisa memikirkan apa saja dan bisa menghendaki apa saja. Ke­bebasan kehendak tidak sama dengan keleluasaan jasmaniah. Kebe­basan kehendak tidak bisa secara, pribadi dibatasi dari luar. Orang tidak bisa dipaksakan menghendaki sesuatu, sekalipun jasmaniahnya dikurung.
Ketiga, keleluasaan moral yg dalam arti luas berarti tidak adanya macarn-macam ancaman, tekanan, larangan dan lain desak­an yg tidak hingga berupa paksaan fisik. Dan dalam arti sempit berarti tidak adanya kewajiban, yaitu keleluasaan berbuat apabila terdapat kemungkinan-kemungkinan untuk bertindak.
Kebebasan pada bagian selanjutnya mengandung performa khusus manusiawi untuk bertindak, yaitu dengan menentukan sendiri apa yg mau dibangun berhadapan dengan macam-macam unsur. Manusia leluasa berarti insan yg bisa menentukan sendiri tindakannya.
Selanjutnya insan dalam bertindak dipengaruhi oleh lingkungan luar, tetapi bisa juga mengambilsikap dan menentukan dirinya sendiri. Manusia tidak begitu saja dicetak oleh dunia luar dan dorongan-dorongannya di dalam, melainkan ia membikin dirinya sendiri berhadapan dengan unsur-unsur tersebut. Dengan demikian keleluasaan nyatanya ialah tanda dan ungkapan martabat manusia, sebagai satu-satunya makhluk yg selain ditentukan dan digerakkan, melainkan yg bisa menentukan dunianya dan dirinya sendiri. Apa saja yg dilakukan tidak atas kesadaran dan keputusannya sendiri dianggap faktor yg tidak wajar .
Kalau ditinjau dari segi agama Islam, paham adanya keleluasaan pada insan ini sejalan pula de­ngan isyarat yg diberikan al-Qur'an. Perhatikan beberapa ayat di bawah ini:
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan insan dalam bentuk yg sebaik-baiknya”. (QS. At-Tiin, 95:4)
“Dan Kami lebihkan mereka (manusia) dari tidak sedikit makhluk yg telah kami ciptakan dengan kelebihan yg sempurna”. (QS. Al Israa’, 17:70)
“Dan (ingatlah) saat Tuhanmu berfirman terhadap para malaikat “Sesungguhnya Aku akan menjadikan seorang khalifah di muka bumi,” mereka bertanya: “Mengapa Engkau hendak menciptakan di bumi itu (makhluk) yg akan membikin kerusakan didalamnya dan akan menumpahkan darah, (padahal) kami rutin bertasbih memujimu dan mensucikanMu.” Dia berfirman: “Sesungguhnya Aku lebih mengenal apa-apa yg tidak anda ketahui. (QS. Al Baqarah, 2:30).
Ayat-ayat tersebut dengan terang memberi kesempatan terhadap insan untuk dengan cara leluasa menentukan tindakannya berdasarkan kemauannya sendiri.
F. TANGGUNGJAWAB
Selanjutnya keleluasaan sebagaimana disebutkan di atas itu di tantang apabila berhadapan dengan kewajiban moral. Sikap moral yg dewasa ialah sikap bertanggung jawab. Tak mungkin ada tanggung jawab tanpa ada kebebasan. Di sinilah letak kekerabatan keleluasaan dan tanggung jawab.
Dalam filsafat, arti tanggung jawab ialah performa insan yg menyadari bahwa seluruh tindakannya rutin mempunyai konsekuensi. Perbuatan tidak bertanggung jawab, ialah tindakan yg didasarkan pada pengetahuan dan kesadaran yg seharusnya dilakukan tapi tidak dilakukan juga.
Menurut Prof. Burhan Bungin dalam Mufid (2009:243), tanggung jawab ialah restriksi (pembatasan) dari keleluasaan yg dimiliki oleh manusia, tanpa mengurangi keleluasaan itu sendiri. Tidak ada yg membatasi keleluasaan seseorang, kecuali keleluasaan orang-orang lain. Jika kita leluasa berbuat, jadi orang-orang lain juga mempunyai hak untuk leluasa dari konsekuensi pelaksanaan keleluasaan kita. Dengan demikian, keleluasaan insan wajib dikelola supaya tidak terjadi kekacauan. Dan norma untuk mengelola keleluasaan itu ialah tanggung jawab sosial. Tanggung jawab sendiri ialah implementasi kodrat insan sebagai makhluk social. Maka demi kebaikan bersama, jadi pelaksanaan keleluasaan insan wajib memperhatikan kelompok social dimana ia berada.
Dalam kerangka tanggung jawab ini, keleluasaan mengandung arti:
(1) Kemampuan untuk menentukan dirinya sendiri,
(2) Kemampuan untuk bertanggung jawab,
(3) Kedewasaan manusia, dan
(4) Keseluruhan kondisi yg memungkinkan insan melakukan tujuan hidupnya. Tingkah laku yg didasarkan pada sikap, sistem kualitas dan pola pikir berarti tingkah laku berdasarkan kesadaran, bukan instintif, melainkan terdapat makna keleluasaan insan yg ialah obyek materia etika.
Sejalan dengan adanya keleluasaan alias kesengajaan, orang-orang wajib bertanggung jawab terhadap tindakannya yg disengaja itu. Ini berarti bahwa ia wajib bisa berkata dengan jujur ke­pada kata hatinya, bahwa tindakannya itu sesuai dengan penerangan dan tuntutan kata hati itu. Jadi bahwa dirinya berbuat baik dan tidak berbuat jahat, setidak-tidaknya menurut keyakinannya.
Dengan demikian tanggung jawab dalam kerangka adab ialah keyakinan bahwa tindakannya itu baik. Ini pun sesuai dengan ungkapan Indonesia, yaitu kalau dikatakan bahwa orang-orang yg melakukan kekacauan sebagai orang-orang yg tidak bertanggung jawab, jadi yg dimaksud ialah bahwa tindakan yg dilakukan orang-orang tersebut dengan cara moral tidak bisa dipertanggung­jawabkan, mengingat tindakan tersebut tidak bisa diterima oleh masyarakat.
Sama semacam dalam tidak sedikit bahasa Barat, dalam bahasa Indonesia pun kata yg kita pakai untuk "tanggung jawab" ada kaitannya dengan "jawab". Bertanggung jawab berarti: bisa menjawab, bila ditanyai mengenai perbuatan-perbuatan yg dilakukan. Orang yg bertanggung jawab bisa diminta penjelasan mengenai tingkah lakunya dan bukan saja ia bisa menjawab kalau ia mau melainkan juga ia wajib menjawab. Tanggung jawab berarti bahwa orang-orang tidak boleh mengelak, bila diminta penjelasan mengenai per-buatannya. Jawaban itu wajib diberikan terhadap siapa? Kepada dirinya sendiri, terhadap masyarakat luas dan kalau dirinya orang-orang beragama terhadap Tuhan.









BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Kebebasan erat kaitannya dengan kesusilaan. Maka tidak ada fungsinya memuji alias mencela seseorang atas sebuah tindakan apabila dirinya dalam sebuah tindakan "tidak bebas". Dalam kondisi tertekan (tidak bebas), insan tidak mungkin akan menjadi makhluk yg merdeka dan karena keleluasaan inilah insan bisa melakukan kesalahan.
Kesalahan yg paling berat dari insan ialah menyerahkan kebebasannya. Bentuk paling kurang baik dari kesalahan ialah membiarkan diri terperangkap dalam keburukan. Perbuatan seseorang akan bermakna apabila yg bersangkutan bertanggung jawab atas apa yg ia lakukan, jadi kesimpulanya ialah orang-orang yg bisa dimintai tanggung jawab ialah orang-orang yg mempunyai kebebasan.
Manusia dikatakan leluasa apabila ia terbelit pada norma-norma. Apabila ia tidak mengakui faktor itu jadi ia masih tidak bebas, karena dikuasai kecendrungan dan senantiasa dipengaruhi dan terbelit pada hokum yg lebih tinggi dan tidak sempurna.
Norma tidak memaksa manusia, sebaliknya, norma menawarkan keleluasaan kepadanya. Manusia leluasa untuk mendapatkan alias tidak mendapatkan norma. Meskipun demikian, keleluasaan ialah kenyataan yg begitu pentingnya, jadi tegak runtuhnya kesusilaan tergantung pada kesaksian alias pengingkaran atas kebebasan.
Sikap moral yg dewasa ialah sikap yg bertanggung jawab. Tak mungkin ada tanggung jawab tanpa ada kebebasan. Disinilah letak kekerabatan tanggung jawab dan kebebasan. Tingkah laku yg didasarkan pada sikap, sistem kualitas dan pola pikir berarti tingkah laku berdasarkan kesadaran, bukan instingtif.
D.    SARAN
Sebagai makhluk yg berakal budi dan dianugerahi Tuhan dengan performa yg menarik hendaknya insan bisa memanfaatkan keleluasaan yg diberikan Tuhan kepadanya dengan sebaik-baiknya untuk kemaslahatan insan itu sendiri dan juga makhluk nasib lainnya karena pada sebuah hari kelak setiap insan akan diminta pertanggung jawabannya dihadapan Tuhan.



DAFTAR PUSTAKA


Bertens, K., 2005, Etika, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
http://makalah85.blogspot.com/…/kebebasan-tanggung-jawab-dan-hati.html
Mufid, Muhamad, 2009, Etika dan Filsafat Komunikasi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta
Prono, Srijanto, 2002, Hidup Kalian Ditangan Siapa; Suatu Telaah Pemikiran Menjembatani
Paham Qodariah dan Jabariah, Syaamil Cipta Media, Bandung
Tim Pengajar, 2010, Filsafat Pendidikan, Universitas Negeri Medan, Medan
Zubair, Achmad Charris, 1995, Kuliah Etika, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Makalah Hukum Kesehatan : Kebebasan dan Tanggung Jawab"

Post a Comment